Powered By Blogger

Selasa, 21 September 2010

studi kasus petani banyumas.....ini kenyataanya lho....!

Studi Kasus dari Sebuah Desa Tepi Jalan di Banyumas Jawa Tengah
Pendahuluan
Artikel ini adalah tentang bentuk-bentuk permainan judi yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat tani. Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian lapangan dari Mei sampai Oktober 2007 di sebuah desa di Banyumas, Jawa Tengah. Penelitian utama yang menaunginya berkenaan dengan dinamika kerja dan penghidupan rumah tangga pedesaan Jawa, khususnya desa pertanian sawah di tepi jalan raya lintas Jawa. Desa Wetankali yang diteliti berada tepi jalan lintas selatan Jawa yang menghubungkan Yogyakarta dan Cilacap.
Di Wetankali, lebih dari 74% lahannya adalah sawah dengan rata-rata luas kepemilikan oleh penduduk desa hanya 0,2 ha. Rumah tangga tanpa sawah mencapai 57% dan tunakisma absolut 22%. Sekitar 40% penduduk dewasa adalah buruh tani. Dari sekitar 200 ha lahan pertanian, 14% milik desa yang penguasaannya diberikan kepada aparat desa dan hanya 6% saja lahan garapan milik desa yang bisa digarap bergiliran di antara penduduk. Selebihnya, 80%, adalah lahan milik pribadi yang satu-satunya saluran memanfaatkannya melalui pasar lahan (beli-sewa-gadai). Karena harga beli lahan sawah mencapai 200-500 ribu rupiah per ubin (14 m2), maka mereka yang sudah berada di lapisan buruh tani sulit kemungkinannya memiliki lahan garapan. Hanya sekitar 1% penduduk usia dewasa mengandalkan perdagangan, industri kecil, dan usaha kecil-kecilan sebagai sumber nafkah. Kurang dari 1% menerjunkan diri ke dalam kerja-kerja berupah dan self-eksploited di luar pertanian.

Di luar penggolongan sumber-sumber nafkah ‘wajar’ yang normal di atas, ada sebagian orang menghidupi rumah tangganya dengan menerjuni saluran penghidupan ‘tidak wajar’ yang tercakup ke dalam molimo. Jumlah pastinya sulit dipastikan. Namun dapat dikatakan tidak sedikit. Artikel ini hendak mengulas perjudian, baik sebagai permainan maupun sumber penghidupan dalam kehidupan masyarakat petani di Jawa
Metodologi
Dalam penelitian ini perjudian tidak hanya dilihat sebagai bagian dari kegiatan rekreasi petani seperti yang ditekankan Koentjaraningrat, tetapi terutama sebagai salah satu saluran penghidupan yang bagi sebagian orang mungkin sebagai sumber penghidupan pokok. Tujuan pokok penelitian ini semata-mata menggambarkan bentuk-bentuk permainan atau kegiatan judi yang populer sekarang ini serta kedudukannya dalam spektrum saluran penghidupan penduduk desa. Metode etnografis yang dikawal survei serta quisioner digunakan dalam penelitian ini. Survei hanya dimanfaatkan untuk mengetahui latar sosial-ekonomi dari keberadaan kegiatan perjudian. Sedangkan data mengenai wacana, praktek, dan berbagai bentuk perjudian lebih digali lewat wawancara mendalam dengan beberapa informan, baik dari lingkungan pelaku maupun dari penduduk desa yang bukan pelaku namun dianggap mengetahui kegiatan perjudian di sekitarnya. Wawancara mendalam terhadap informan terpilih dilakukan setelah dilakukan terlebih dahulu wawancara biasa terhadap sekitar 20 informan biasa dan penelusuran data umum rumah tangga melalui survei. Pengamatan juga dilakukan untuk beberapa kegiatan perjudian yang ‘relatif terbuka’.
Permainan Judi

Di belakang tembok Pasar Kutocilik ada satu bangunan seperti rumah kediaman yang dimanfaatkan untuk usaha perjudian. Meja-meja lapak pedagang pasar juga merupakan tempat berjudi yang digunakan jika pasar mulai sepi. Bermacam-macam jenis perjudian bisa digelar di tempat ini mulai dari sabung ayam (adu jago), rolet/sintir (menebak angka di papan kayu berputar), koprok (tebak dadu), unclang (melempar gelang rotan ke sebuah botol), gangsing (tebak gambar binatang), dan kocok rokok (tebak gambar kartu remi berhadiah rokok).
Arena perjudian digelar hampir setiap hari. Tapi, arena tersebut biasanya ramai saat hari pasaran Pasar Kutocilik, yaitu Selasa dan Jumat. Secara umum setiap permainan judi memiliki dua jenis pelaku yang terlibat di dalamnya, yakni bandar dan gentho (petaruh). Bandar adalah orang yang mengendalikan permainan judi. Mereka membayar pemenang dan menarik uang taruhan pemain lainnya yang kalah. Peran ini bisa dilakukan oleh satu orang maupun beberapa orang. Dari keenam jenis permainan judi di Pasar Kutocilik tersebut dapat disimpulkan bahwa semuanya adalah judi taruhan. Artinya pemain bertaruh sejumlah tertentu uang atas angka, gambar, atau hewan aduan. Bila taruhannya menang, maka dia akan memperoleh hadiah atau uang yang berlipat kali uang taruhannya. Kelipatan uang bergantung kesepakatan antara petaruh dan bandar judinya.
Di Wetankali, pada dasarnya semua kegiatan yang mengandung permainan atau pertandingan bisa dijudikan. Penduduk desa bisa berjudi dengan permainan kartu sampai berjudi atas pertandingan sepak bola yang diselenggarakan di lapangan desa. Bahkan, rangkaian kegiatan pemilihan kepala desa merupakan salah satu ajang perjudian besar-besaran yang menyertakan peredaran uang ratusan juta rupiah. Pokoknya, segala hal yang mengandung unsur pertandingan menang-kalah bisa dijudikan. Berbagai bentuk perjudian yang ada paling tidak bisa digolongkan menjadi tiga ragam pokok, yaitu judi undian, judi taruhan, dan judi permainan-bertanding. Pemilahan ini sebenarnya tidak bisa diterapkan secara tegas karena seringkali ada semacam tumpang tindih antarberbagai ragam perjudian di dalam satu kegiatan judi. Pemilahan ini sekadar memudahkan pengelompokan.
Yang termasuk judi undian adalah berbagai jenis lotre. Pada pertengahan 1990-an, penduduk ingat hingar-bingarnya Porkas, sebuah praktik judi undian yang didukung negara. Konon hampir setiap Rabu sore hingga tengah malamnya, tidak sedikit penduduk yang silih berganti mendatangi bandar porkas dan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) di tepi Jalan Raya Kutocilik untuk membeli atau menukar kupon undian. Sekarang, undian porkas dan SDSB sudah tidak ada lagi, tapi praktik judi undian masih dilakukan untuk beberapa jenis lotre. Di Wetankali, ada berbagai jenis lotre mulai dari yang dianggap kecil-kecilan dan dimainkan anak-anak usia sekolah dasar berhadiah telur asin (lotre endog asin) hingga lotre berhadiah motor atau televisi berwarna.
Taruhan pada Pertandingan Olahraga

Dalam judi taruhan, pelaku judi tidak mesti terjun langsung ke dalam permainan atau pertandingan. Permainan atau pertandingan yang menjadi sarana taruhan juga tidak harus berada secara langsung di hadapan penjudi. Dalam bahasa setempat, orang-orang yang mendukung salah satu pihak yang sedang bertanding disebut botoh. Perjudian bisa dilakukan antar-botoh atau antara botoh dan bandar judi. Seperti halnya judi undian, dalam judi taruhan ada unsur tebak-tebakan. Penjudi memilih pihak di antara dua (atau lebih) yang sedang bertanding. Bila pilihannya memenangkan pertandingan, maka dia akan menang.
Apa pun jenis olahraga yang dipertandingkan, judi taruhan bisa diterapkan. Di Wetankali ada tiga jenis olahraga yang populer yaitu sepakbola, sepak takraw, dan bulu tangkis. Dua pertandingan pertama umumnya dilakukan oleh golongan muda dari lapisan sosial menengah ke bawah. Sedangkan bulu tangkis biasanya dilakukan golongan lapisan yang tak lagi muda dari lapisan elit-elit desa.
Ada satu lapangan sepak bola yang juga berfungsi sebagai lapangan upacara dalam agustusan, tempat pemilihan kepala desa, atau tempat diadakannya seni pertunjukan. Dalam beberapa waktu sekali diadakan kompetisi sepakbola antardesa atau antarperkumpulan dari berbagai tempat di sekitaran Wetankali. Pada Agustus-September 2007 diadakan kompetisi sepakbola antarperkumpulan dari berbagai kota kecamatan di Banyumas selatan, Kebumen, dan Cilacap. Ada sekitar 16 perkumpulan yang ikut serta. Acara ini diadakan oleh Paguyuban Wong Kutocilik yang menurut pandangan sebagian orang adalah perkumpulan para pemuda-pemuda bengal dan preman pasar. Konon, diadakannya kegiatan ini pertama-tama adalah sebagai ajang perjudian.
Memang, selain menonton pertandingan beberapa orang biasanya memasang taruhan dengan sesama penonton untuk tim yang didukungannya. Kadang ketua tim yang sedang bertanding juga ikut taruhan mewakili timnya. Taruhan yang dilakukan oleh sesama tim olahraga dikenal dengan istilah maen pinggiran. Biasanya, salah satu perwakilan tim akan menanyakan kepada tim lawan apakah ada pinggirannya atau tidak (maksudnya ada taruhannya atau tidak). Jika disepakati akan ada pinggiran maka masing-masing pihak akan tawar-menawar taruhan. Pertama, salah satu anggota tim akan menanyakan kepada anggota tim berapa besar taruhannya. Hal yang sama juga dilakukan tim lawan. Setelah itu kedua perwakilan bertawar-menawar besarnya taruhan. Jika sudah ada kesepakatan besarnya taruhan, maka kedua tim berjabat tangan sebelum pertandingan di mulai.
Balap Merpati

Selain bisa dijalankan pada pertandingan olahraga, dalam praktinya judi taruhan juga bisa dilakukan dalam adu hewan. Adu hewan yang ada di Wetankali sendiri meliputi sabung ayam (adu jago) dan adu balap merpati (tomprang).
Sampai akhir 1990-an Wetankali terkenal memiliki usaha penangkaran merpati balap yang paling hebat seantero Kutocilik.  Usaha itu dijalankan keluarga Cina terkaya yang menjalankan usaha merpati balap sebagai sampingan di antara penghidupan sebagai pedagang penampung hasil bumi. Sekarang usaha peternakan merpati balap yang telurnya saja dihargai 25 ribu rupiah itu bangkrut karena bangkrutnya usaha dagang keluarga tersebut. Meski demikian usaha-usaha serupa yang dijalankan beberapa keluarga Jawa masih bertahan sampai sekarang. Pada musim kemarau akan banyak ditemui orang menggendong sangkar merpati di punggungnya dan mengayuh sepeda ke tanah lapang atau persawahan untuk kemudian melepaskan merpati dari sangkarnya. Taruhan atas merpati balap bisa dilakukan antarpemilik burung atau antar-botoh yang mendukung merpati tertentu yang sedang diadu.
 Di Wetankali adu balap merpati disebut omprang atau tomprang. Merpati yang diadu haruslah setara kelasnya. Ada dua kelas merpati, yaitu balap dan lokal. Merpati balap biasanya bertubuh lebih besar dan ringan. Selain itu merpati balap bisa terbang rendah dengan kecepatan tinggi. Dua jenis permainan adu balap merpati didasarkan pada jenis merpatinya, yaitu balapan merpati balap dan balapan merpati lokal.
Balapan merpati balap biasanya dilakukan di tanah lapang yang datar seperti daerah persawahan setelah panen sadhon, lapangan sepak bola, padang gembalaan, dan jalan desa yang sepi lalu-lalang. Tempat-tempat tersebut dipilih karena merpati balap akan terbang rendah (kira-kira 30 cm dari permukaan tanah). Merpati yang mampu terbang di bawah ketinggian rata-rata dianggap lebih istimewa karena bisa lebih cepat mencapai garis akhir lomba. Bila dibandingkan dengan jenis atletik, maka balapan merpati balap adalah jenis sprinternya.
Pada umumnya jarak dari garis start ke garis finish sekitar 500 m atau kurang. Peserta adu balap biasanya berpasangan. Satu orang memegang merpati jantan di garis start atau yang akan diterbangkan dan satu orang lagi di garis finish memegangi merpati betina. Ketika perlombaan dimulai, merpati jantan dilepas disertai teriakan-teriakan dan tepuk tangan orang yang berada di garis start. Pada saat yang sama, merpati betina tetap dipegang sambil dikepak-kepakkan sayapnya (diklepek) sebagai  pemancing merpati jantan agar terbang dengan cepat menuju garis finish. Balapan merpati balap jarang diadakan di Wetankali karena tidak mempunyai arena. Penduduk yang ingin mengikutinya harus pergi ke Kulonkali.
Penduduk Wetankali pada umumnya lebih sering mengadakan balapan merpati lokal yang bisa diadakan di mana saja. Jarak yang ditempuh balapan juga lebih jauh. Balapan bisa berjarak antardesa, bahkan bisa pula kecamatan. Dalam balapan jenis ini, merpati balap tidak digunakan karena konon hanya bagus untuk perlombaan jarak pendek. Dibutuhkan jenis merpati yang mempunyai kemampuan nafas panjang dan daya jelajah yang jauh. Kualitas tersebut hanya ada pada merpati lokal. Bila dibandingkan dengan atletik, balapan merpati lokal adalah lari maratonnya.
Seperti juga balapan merpati balap, dalam balapan merpati lokal merpati-merpati jantannya dilepaskan dari tempat tertentu secara bersamaan dan diharapkan mereka akan menuju lokasi yang disepakati peserta perlombaan tempat merpati betinanya berada. Di tempat yang telah disepakati, merpati betina dipegang oleh salah seorang peserta sebagai tanda garis finish. Merpati jantan yang paling cepat kembali ke pangkuan merpati betina, dialah pemenang balapan.
Umur merpati yang bisa dipakai balapan sekitar 1-2 tahun. Merpati lokal bisa dibeli secara langsung di rumah penduduk yang dikenal menangkarkannya. Bisa pula burung-burung itu dibeli di Pasar Kutocilik setiap hari pasaran. Jika membeli di rumah-rumah penduduk, harganya sedikit lebih mahal. Selain karena bisa langsung diuji telebih dahulu, merpati-merpati di rumah peternaknya konon biasanya terpelihara dengan baik karena peternak merpati biasanya juga adalah peminat burung merpati.
Harga seekor merpati lokal jantan yang belum terlatih bisa mencapai 100 ribu rupiah. Untuk betinanya hanya sekitar 25 sampai 30 ribu rupiah saja. Menurut penggemar burung merpati, meskipun di pasar lebih murah (25.000 rupiah sampai 30.000 rupiah) kualitasnya kurang memuaskan. Bisa karena tertipu bentuk fisiknya yang bagus namun tidak mampu terbang cepat atau salah membeli merpati yang sakit. Kalaupun membeli di pasar biasanya merpati yang masih piyik (kecil) untuk dilatih beberapa bulan sampai menjadi merpati aduan. Jenis merpati lokal yang paling mahal adalah gendeng soka. Harga merpati jantan jenis ini bisa mencapai 700 ribu rupiah seekor, itupun yang belum terlatih. Jika sering juara, harganya bisa dua atau tiga kali lipat.
Meski beberapa pemilik merpati aduan mengaku melakukan lomba hanya untuk kesenangan, tidak jarang pemilik merpati mengajak beberapa orang untuk taruhan. Pada umumnya, besaran taruhannya dianggap kecil-kecilan seperti totoan jagung (taruhan jagung pakan merpati) atau dengan uang 20 sampai 50 ribu rupiah saja. Sebutan totoan jagung muncul karena kebiasaan penggemar merpati aduan membawa satu plastik jagung ketika ingin mengajukan tantangan. Jika uang yang digunakan, pemenang biasanya membelanjakan sebagian atau semua uang taruhan untuk membeli jagung. Setiap kilogram jagung (3.000 rupiah) bisa mencukupi tiga pasang merpati (enam ekor) selama tiga hari. Agar bertambah kuat, pemilik burung merpati mencampur jagung dengan beberapa genggam beras merah sebagai makanan tambahan. Harga 1 kg beras merah sekitar 7500 rupiah.
Balapan merpati balap umumnya dikenal sebagai ajang perjudian besar. uang taruhannya bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Pemain-pemainnya pun kebanyakan orang-orang kaya Kutocilik.
Tabel 1 Nama-nama Jenis Merpati Aduan dan Ciri-cirinya
Jenis
Ciri-ciri

Gambir
Warna coklat, tulang besar, sayap lebar, badan besar, matanya mengkilat
Klawu
Warna abu-abu
Megan
Coklat berbintik, ada juga yang hitam campur coklat
Tritis
Warna hitam polos
Klampis
Hitam keabu-abuan
Pupur
Badan hitam, kepala berbintik putih
Gendeng soka
Warna hitam, sayap lebar, bagian dada menonjol
Blorok
Putih berbintik hitam di leher
Blontang
Warna hitam, lebih kecil dari tritis 
Sumber: wawancara, Agustus 2007
Kegiatan memelihara dan mengadu balap merpati merupakan kegiatan laki-laki mulai dari anak-anak usia sekolah dasar sampai orang dewasa yang sudah mempunyai anak atau cucu. Biasanya, adu balap merpati dilakukan pada sore hari. Pemilik merpati atau orang suruhannya sering terlihat menggendong sangkar burung terbuat dari bilah bambu sambil naik sepeda menuju tanah lapang untuk melepas beberapa merpati jantan. Satu sangkar kecil bisa diisi dua sampai empat pasang merpati. Hampir semua orang selalu memasang sejenis peluit khusus untuk burung merpati (sawangan) yang diikatkan di bagian ekor. Pada saat di adu balap, suara peluit merpati menjadi petunjuk pemiliknya untuk segera mengepak-kepakkan sayap merpati betina.
Pada saat latihan balapan, berbagai jenis merpati tersebut bisa diterbangkan secara bersama-sama tanpa melihat kemampuan masing-masing. Tujuannya memang melatih merpati pemula agar mencontoh kecepatan merpati yang sudah sering juara. Resiko latihan terbang ini adalah kehilangan merpati-merpati pemula karena tersesat. Hal ini sering terjadi jika jaraknya terlalu jauh. Jika merpati hilang ditemukan orang, maka pemiliknya harus menebus, tidak bisa langsung diminta meskipun milik sendiri. Biasanya ditebus setengah harga. Kalau belinya 60.000 rupiah ditebus 30.000 rupiah. Agar mudah dikenali pada saat tersesat, kaki merpati dipasang gelang alumunium bertuliskan nama dan alamat pemiliknya.
Sabung Ayam

Sabung ayam atau adu jago cukup populer di Wetankali dan sekitarnya. Namun, karena kepala desa Wetankali sebelum sekarang adalah seorang santri, maka sejak 1997 hampir-hampir tak terdengar praktik sabung ayam dilakukan di dalam lingkungan desa. Sekarang, setelah sang kepala desa yang santri itu lengser dan diganti oleh kepala desa yang bukan santri, mulai ada lagi kegiatan sabung ayam meski masih tetap tidak begitu terbuka betul-betul.
Seorang penggemar judi sabung ayam sejati haruslah juga seorang yang ahli dalam soal perjagoan. Mereka biasanya memiliki beberapa ekor ayam jantan (jago) bangkok aduan. Menurut salah seorang di antara mereka, ciri jago bangkok aduan yang baik adalah tulang kakinya kering dan keras (mlingkir). Jago bangkokmlingkir selalu memiliki taji (jalu) yang sangat pejal sehingga bisa melukai jago lain dengan cukup parah. Selain itu, jago bangkok yang baik mempunyai kerongkongan besar yang menandakan tingkat ketahanan bernafasnya yang panjang. Nafas yang panjang sangat diperlukan dalam pertandingan sabung ayam karena pertandingannya sendiri bisa saja berlangsung berbabak-babak sebelum salah satu jago melarikan diri sebagai tanda kalah.
Seekor jago aduan yang baik juga memiliki tulang dan otot ekor serta sayap yang pejal. Tulang dan otot ekor pejal ini penting untuk keseimbangan dan kekuatan hantaman ayam ketika bertarung. Selain itu, matanya harus baik. Mata jago bangkok yang baik salah satunya adalah jawabening berwarna cerah. Jago bangkok dengan ciri-ciri tersebut, meski belum berpengalaman dalam pertarungan dihargai 100-200 ribu rupiah. Seandainya sering menang, harganya bisa cepat meninggi sampai jutaan rupiah. Namun jika kalah, orang bisa membelinya seharga seekor ayam kampung, yaitu 30–50 ribu rupiah.
Sabung ayam pada umumnya dilakukan di sebuah arena khusus yang disebut kalangan. Ada juga yang menyebut arena pertandingan dengan tobong. Kalangan adalah semacam tempat lapang tempat ayam-ayam diadu. Petaruh atau sekadar penontong mengelilingi arena pertandingan. Pada saat sabung ayam dimulai hanya ada satu orang di dalam kalangan, yakni wasit yang bertugas menghentikan pertandingan bila waktu istirahat yang disepakati sudah dicapai atau ketika salah satu ayam sudah lari (pecuk).
Di setiap pertandingan yang bisa memakan waktu 10 sampai 30 menit, ada jeda-jeda istirahat yang digunakan pemilik ayam untuk memberi minum dan membasuh luka jagonya dengan air (dibanyoni). Orang yang boleh menjadi wasit adalah orang-orang yang dianggap pandai dan berpengatahuan luas dalam hal ayam aduan dan sabung ayam. Mereka tidak hanya berpengetahuan dari pengalaman langsung, tapi juga memahami ‘filosofi’ sabung ayam yang biasanya diperoleh dari kitab-kitab primbon. Selain dibayar oleh bandar yang memiliki tempat sabung ayamnya, wasit biasanya mendapat persenan (komisi) dari pemilik ayam yang menang aduan.
Arena sabung ayam biasanya di buka untuk dua hingga empat kali pertandingan dalam sehari bergantung pada lama-tidaknya pertandinangan. Petaruh dalam adu jago bukan hanya mereka yang ayamnya sedang diadu. Pemilik arena yang juga bandar judi menerima pasang taruhan dari para penonton. Penonton sabung ayam yang ingin memasang taruhan tinggal memberi kode ke bandar. Bandar atau orang suruhannya akan mencatat besar taruhan dan bertaruh untuk ayam yang mana (botoh). Di tepi kalangan ada papan tulis tempat ditulisnya nama-nama ayam yang akan bertarung dan daftar petaruh yang bertaruh dalam nilai jutaan.
Sebelum pertandingan dimulai, para pemilik ayam aduan atau petaruh besar yang akan bertaruh jutaan rupiah harus mengeluarkan muka sebesar 200 ribu rupiah yang sebagiannya digunakan untuk uang keamanan. Jumlah tersebut tidak begitu besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh kalau menang taruhan. Selain itu, harga ayam yang pernah menang aduan  bisa naik sampai lima kali lipat. Prinsipnya, bandar sabung ayam harus berkorban terlebih dahulu untuk uang keamanan agar tidak digerebek polisi.
Uang keamanan diserahkan kepada polisi melalui perantaraan ketua preman yang menjadi kaki tangan bandar. Pemberian uang keamanan tersebut memberikan jaminan bisa bermain dengan tenang. Jika sewaktu-waktu ada penggerebekan, ketua preman tersebut akan menjadi semacam perantara antara bandar judi dengan aparat keamanan. Kalau jumlah uang sogokan masih kurang, preman akan meminta bandar judi untuk membayar lebih banyak lagi. Bagi bandar sabung ayam hal seperti itu sudah biasa. Selain itu, resiko digerebek lebih berat karena semua ayam aduan yang harganya jutaan rupiah akan disita polisi. Jaminan keamanan yang diberikan preman kepada bandar judi adalah mengaku sebagai penanggung jawab arena judi jika sewaktu-waktu terjadi penggerebekan. Artinya, premanlah yang tetap tinggal di tempat judi untuk ditangkap sementara bandar, pemilik ayam, dan petaruh lainnya bisa kabur. Resiko dipenjara karena tertangkap polisi tidak begitu dihiraukan para preman. Karena, selain paling lama hanya beberapa minggu, tidak jarang pula dia bisa cepat keluar karena ditebus oleh bandar judinya.
Judi Dadu

Selain jenis-jenis judi taruhan di atas, judi dadu merupakan pemainan judi yang paling populer di Wetankali dan sekitarnya. Ada dua jenis permainan judi dadu berdasarkan ukurannya, yakni kipyik untuk dadu berukuran kecil yang dikocok dengan batok kelapa atau dua telapak tangan dan judi koprok untuk dadu berukuran besar yang dikocok dengan kaleng biskuit berbentuk tabung. Baik kipyik maupun koprok memiliki karakteristik dan peraturan yang sama. Dalam permainan, ada tiga buah dadu. Di masing-masing dadu bersegi enam ada enam tampilan angka yang ditandai jumlah titik-titik dari satu sampai enam. Dua dadu berwana dasar hitam dan satu berwarna merah. Warna titik-titik angkanya sendiri diberi warna putih.
Selain dadu, peralatan permainan lainnya adalah selembar kain selebar 1x1,5 m. Dalam permainan, kain dengan enam blok angka atau lapak ini dibentangkan. Angka yang terdapat dalam setiap blok juga digambar dalam bentuk bulatan-bulatan sama dengan angka yang ada di dadu. Lapak ini (biasanya di cat dengan warna mencolok) disediakan sebagai tempat para petaruh (gentho) memasang uang taruhan.
Prosesnya permainannya adalah sebagai berikut cukup sederhana. Mulanya, dadu dikocok-kocok oleh bandar. Setelah dikocok batok atau kaleng pengocok ditangkupkan. Bandar kemudian menawarkan kepada petaruh untuk memasang uang taruhan. Petaruh memasang taruhan dengan cara meletakkan sejumlah uang di salah satu blok angka yang tersedia di lapak. Beberapa saat kemudian, setelah semua petaruh memasang taruhannya, bandar membuka wadah pengocok. Angka yang tampil itulah yang menunjukkan siapa pemenang taruhan dalam putaran tersebut. Pemenangnya adalah petaruh yang angka pilihannya cocok dengan angka dadu yang tampil. Bandar akan menarik semua uang dari petaruh yang kalah dan membayar langsung sejumlah kali lipat uang petaruh yang menang.
Dalam permainan judi dadu, di sisi bandar ada tiga orang petugas dengan tugas yang berlainan, yaitu petugas pengocok dadu, pencatat, dan pengawas atau pengatur keluar-masuk uang taruhan. Salah satu atau semua petugas tersebut bisa saja adalah orang yang dipekerjakan oleh bandar pemilik uang.
Tabel 2. Sistem Taruhan dalam Judi Dadu
Sistem Taruhan
Kelipatan perolehan bila menang (kali lipat)
Dana
1
Apit
5
Dames abang
5
Dames ireng
15
Riting
25
Sumber: wawancara Agustus 2007
Selain taruhan tebak angka secara umum di atas (dana) yang pemenangnya hanya akan memperoleh satu kali lipat dari jumlah taruhan, dalam judi dadu ada beberapa jenis taruhan khusus yang pemenangnya bisa memperoleh berkali-keli lipat. Pertama adalah sistim dames atau menebak angka ditambah warna dadunya sekaligus. Seperti sudah disebutkan, ada dua dadu hitam dan satu dadu merah. Bila petaruh tepat menebak keluarnya suatu angka sekaligus dengan warnanya, maka dia akan mendapat berlipat-lipat uang taruhannya. Bila petaruh menebak angka berlatar merah, maka dia akan memperoleh 5 kali lipat taruhan. Sedangkan bila petaruh memilih untuk menebak angka berlatar warna hitam, dia akan memperoleh 15 kali lipat taruhan.
Kedua adalah sistim riting yakni menebak tiga angka yang muncul dari tiga dadu sekaligus. Sistim ini paling besar kelipatan hadiahnya. Tentu saja dengan resiko kemelesetan yang paling besar pula. Bila petaruh memilih sistim riting dan taruhannya tepat, maka dia akan mendapatkan 25 kali lipat uang taruhan. Dalam sistim riting, petaruh bisa memilih menebak angka-angka kecil (1, 2, 3) atau biasa disebut asor (bawah) atau memilik menebak angka-angka besar (4, 5, 6) atau biasa disebut dhuwuran (atas).
Dalam judi dadu sistim yang paling populer adalah apit atau tebak dua angka. Pemenangnya akan memperoleh 5 kali lipat jumlah taruhan. Sedangkan sistim dames dan ritingsistim ini. jarang dipilih karena resikonya dianggap terlalu besar. hanya penjudi-penjudi yang sudah berpengalaman dan bermodal besar yang berani memilih dua
Selain keempat jenis permainan dalam judi dadu di atas, ada pula permainan yang disebut musing. Dalam sistim ini, petaruh berperan sebagai bandar atas petaruh-petaruh lainya dan bandar dalam sekali putaran. Bila tidak ada satu pun petaruh yang menebak dengan tepat, maka semua uang taruhan yang ada di lapak menjadi milik pemusing. Sebaliknya, bila ada petaruh yang menebak tepat, maka dialah yang membayarkan uang hadiahnya.
Selain belakang tembok Pasar Kutocilik (dan konon juga di beberapa pasar lainnya di sekitar Wetankali), judi dadu biasanya digelar di sekitar penyelenggaraan pesta atau hiburan seperti pertunjukan wayang kulit, pasar malam, atau panggung dangdut. Tempat perjudiannya tidak sulit ditemui. Kita cukup berkeliling dalam radius 25-50 meter dari pusat keramaian dan bila menemui segerombol orang mengerumuni cahaya cempor (lampu minyak) di tempat-tempat yang agak gelap, maka hampir pasti di situlah lapak-lapak judi dadu dibuka.
Meskipun banyak orang yang terlibat (mulai dari 5 sampai 15 orang di satu lapak), suasana lapak judi dadu tidaklah berisik. Kecuali, tentu saja, jika ada penggerebekan oleh aparat keamanan. Tidak jarang juga ditemui knak-kanak usia sekola dasar yang ikut bertaruh uang receh pecahan 500 rupiah. Mereka sering kali diusir baik oleh bandar maupun botoh karena dianggap menyesak-nyesakan tempat saja. Namun, selalu saja ada beberapa anak yang membandel dan bertahan beberapa waktu. Untuk mengusir kanak-kanak ini, tidak jarang petugas bandar mengembalikan uang taruhan mereka sambil memberikan satu atau dua koin receh dan meminta secepatnya angkat kaki dengan roman muka yang tampak marah.
Persaingan antarbandar judi dadu cukup ketat. Dalam satu lokasi bisa ada lima sampai tujuh lapak berbeda. Oleh karena itu, dalam permainan dadu, bandar judi biasanya mempunyai seorang petugas rahasia yang dikenal dengan sebutan cumbu. Tugas cumbu adalah berpura-pura sebagai petaruh ketika lapak mulai dibuka atau ketika lapak sepi dari pengunjung. Maksudnya untuk memancing orang-orang yang lalu-lalang agar masuk arena judi dan bertaruh. Selain itu, cumbu juga bertugas membuat petaruh sedemikian rupa tidak beranjak dari tempat perjudian.
Maen Kertu
Berjudi dengan sarana permainan kartu (maen kertu) boleh dikatakan merupakan bentuk perjudian yang lazim dilakukan. Kartu yang dimainkan biasanya adalah kartu domino (gaple) dan kartu remi. Beberapa kali juga ditemui sekumpulan orang memainkan kartu Jawa (ceki) Tukang becak yang mangkal di mulut jalan masuk desa, biasa melakukannya di suatu tempat agak tersembunyi di dekat tempat mangkalnya. Beberapa orang juga memainkannya di tempat tersembunyi di samping gedung koperasi yang tidak kebetulan dekat dengan pabrik penggilingan serta toko bahan bangunan tempat mereka biasa dipanggil untuk menjadi kuli angkut.
Dilihat dari besaran uang yang dipertaruhkan, maen kertu bisa dikatakan judi kecil-kecilan atau sekadar untuk menghabiskan waktu luang. Tapi ada satu pandangan bahwa semakin mudah dan cepat siklus permainannya, maka semakin besarlah taruhannya. Kartu domino umumnya digunakan untuk dua jenis permainan saja, yaitu gaple dan kiu-kiu. Kartu Jawa hanya untuk kiu-kiu. Sedangkan kartu remi bisa digunakan untuk 5 jenis permainan yang berbeda-beda.
Permainan kartu juga sering dimainkan oleh laki-laki di malam-malam menjelang pesta pernikahan atau sunatan. Permainan kartu ini diadakan di rumah pelaksana pesta dan dianggap sebagai kebiasaan yang lumrah bila ditambah dengan taruhan kecil-kecilan. Selain menjelang pesat pernikahan atau sunatan, pada malam-malam slametan lahir atau meninggalnya anggota suatu keluarga juga merupakan waktu yang wajar dimanfaatkan untuk bermain kartu. Pada malam hari beberapa laki-laki dewasa mengadakan melekan atau semacam berjaga-jaga semalam suntuk. Meski tidak semua laki-laki yang hadir (sekitar 7 sampai 15 orang) berkumpul untuk bermain kartu, tapi sudah menjadi pemandangan biasa bila ada satu atau dua kelompok empat orangan yang bermain kartu.
Perjudian dengan sarana kartu yang dilakukan secara serius dan melibatkan jumlah taruhan di atas ratusan ribu jarang terdengar. Namun, penduduk mempunyai istilah untuk kegiatan itu, yaitu masang meja. Masang meja hanya dihadiri segelintir orang dari lapisan elit desa dari berbagai desa di Kutocilik. Konon ada pula yang datang dari kota sekitar. Kegiatan ini dilakukan di dalam rumah salah satu peserta judi dan arena judi tertutup bagi orang biasa. Sampai akhir penelitian, tidak ada peneliti yang betul-betul tahu siapa pelaku-pelaku judi kartu serius ini.
Analisis dan Kesimpulan

Dalam masyarakat petani, berjudi, mengadu ayam, dan menghisap tembakau seolah-olah merupakan bagian dalam kehidupan mereka. Perjudian memang sudah dikenal sejak lama. Konon, orang tua angkat Ken Arok, salah seorang pahlawan Jawa yang mendirikan Kerajaan Singosari pada abad ke-13, adalah penjudi dan Ken Arok dididik dalam lingkungan kabotohan (tempat kegiatan judi). Disebut-sebut dalam Pararaton, Ken Arok adalah jagonya dalam ‘permainan saji’ (Tjan Tjoe Siem 1988: 133).
Dalam etnografi kebudayaan Jawanya, Koentjaraningrat, seorang ahli antropologi Jawa pertama, menyatakan bahwa berjudi merupakan “...suatu kebiasaan buruk yang banyak dimiliki oleh para petani Jawa..., (yaitu) jenis rekreasi yang umum... yang dilakukan sejak sore sampai larut malam” (Koentjaraningrat 1984: 211-2). Tidak hanya di kampung halamannya, orang Jawa juga gemar bermain kartu di tanah rantau. Dalam hasil penyelidikan sejarahnya tentang para buruh tambang di Sawahlunto, Erwiza Erman (2002: 10) menemukan bahwa berjudi, gamelan, dan opium merupakan tiga serangkai hiburan utama di kalangan buruh tambang (laki-laki) asal Jawa. Meskipun kapan tegasnya orang Jawa mengenal berbagai macam permainan judi sulit dipastikan, namun masuknya Islam tidak kemudian menyurutkan keberadaannya.
Dalam hal jender, meskipun tidak tegas pemilahan mana permainan untuk laki-laki dan mana jenis untuk perempuan, seperti halnya merokok di muka umum, hampir semua bentuk permainan judi berjender laki-laki. Tidak banyak ditemukan perempuan terjun dalam permainan judi. Terutama untuk jenis-jenis permainan ‘yang keras berdarah-darah’ seperti sabung ayam. Untuk judi dadu berbandar dan mempertaruhkan uang, perempuan juga tidak terlibat langsung. Paling-paling, ada toleransi bagi anak-anak perempuan untuk main kartu yang tergolong dolanan (mainan) bila di tangan mereka.
Di dalam kehidupan orang Jawa, bermain kartu untuk bertaruh biasa dilakukan pada malam-malam sebelum perhelatan keluarga. Permainan kartu yang tidak diiringi pertaruhan hampir tidak dikenal. Kalau tidak uang yang dipertaruhkan, maka yang kalah pun harus mengerjakan sesuatu pekerjaan sebagai hukuman. Dalam banyak folklore yang juga menggambarkan kegiatan-kegiatan perhelatan, hampir selalu ada gambaran mengenai kaum laki-laki, baik yang muda maupun yang tua, bermain judi kartu. Permainan dilakukan antara tuan rumah dengan para tetangga atau di antara para tetangga yang datang untuk ikut berjaga-jaga semalam suntuk (melekan). Yang muda mengelompok sendiri terpisah dengan mereka yang tua. Bermain kartu seolah sudah menjadi ritual (Heringa 1997: 367). Melekan atau tidak tidur semalaman untuk berjaga-jaga dilakukan pada hampir semua pesta ritus peralihan (rite de passage). Melekanmelekan merupakan salah satu tanda kedudukan penyelenggara perhelatan di mata tetangganya. dengan permainan kartunya dilakukan ketika ada bayi lahir, ada anak sunatan, ketika ada pesta kawin, bahkan ketika ada yang mati. Ramai-tidaknya kegiatan
Permainan judi yang dilakukan demi uang juga mengenal semacam pembagian kerja. Di lapisan atas adalah para bandar yang menyediakan modal dan umumnya tidak terjun langsung dalam permainan. Merekalah aktor di belakang layar di setiap kegiatan judi serius. Di bawah bandar ada bandar-bandar permainan yang dipercaya oleh bandar yang sebenarnya untuk memutar modal dan meraih untung. Para bandar permainan terjun langsung ke dalam permainan, berhadapan dengan dengan para petaruh. Mereka diupah atau memperoleh bayaran bagi-hasil sesuai kesepakatan dengan bandar. Para bandar sering pula dibantu beberapa asisten yang diupah harian atau berdasarkan komisi saja. Di samping bandar permainan dan asistennya, ada pula ‘petugas keamanan’ yang terdiri dari beberapa orang preman yang diupah oleh bandar sebagai penjaga ketertiban di arena judi sekaligus penghubung dengan aparat keamanan yang meminta jatah uang keamanan. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan penghidupan, perjudian merupakan suatu kegiatan ‘produksi’ di sektor keuangan. Ada hubungan ‘produksi’ di dalamnya. Bagi sebagian orang hubungan produksi tersebut merupakan salah satu sumber atau saluran penghidupan. Kapital ditanamkan oleh para bandar untuk memperoleh laba. Permainannya dikonsumsi, entah untuk melipatgandakan uang yang dipertaruhkan atau untuk kesenangan semata. Di antara keduanya ada ‘pekerja-pekerja’ yang diupah untuk curahan tenaganya. Seperti juga dalam kegiatan produksi lainnya, dalam perjudian ada juga golongan pemungut surplus yang meski tidak mencurahkan apa pun ke dalam kegiatan tetapi ‘merasa’ berhak untuk memungut uang darinya.
Dalam alam pikiran Jawa, bermain judi (main), merupakan salah satu dari lima kegiatan haram (molimo). Selain bermain judi, kegiatan haram lainnya adalah maling (mencuri), madonmadat (menyandu), dan minum (mabuk-mabukan) dan (melacur). Molimo merupakan kegiatan rekreatif yang terlarang sekaligus sumber-sumber penghidupan ‘tidak wajar’ yang lama dikenal dalam masyarakat Jawa. Dalam berbagai penyelidikan arkeologi dan filologi, masyarakat Jawa sudah mengenal perjudian sejak abad ke-8 M. Meski berkedudukan sebagai kegiatan rekreatif yang terlarang, permainan judi masih saja ditemukan di banyak tempat, cocok dengan kesimpulan Tjan Tjoe Siem bahwa “yang oleh undang-undang tak diizinkan, dengan secara gelap masih dilakukan juga. Yang dilarang polisi, dikerjakan di tempat-tempat yang jarang atau sama sekali tidak akan didatangi abdi negara ini (Tjan Tjoe Siem 1988: 131).
Akhirnya, sebagai suatu ‘kebiasaan buruk’, berjudi masih sedikit sekali diselidiki oleh para peneliti sosial dan “kiranya perlu diadakan suatu penelitian khusus untuk mengetahui sampai batas manakah kebiasaan ini sudah berakar dalam diri para penduduk desa” (Koentjaraningrat 1984: 211). Dari hasil penelitiannya di sebuah desa di Jawa Timur, antropolog Denmark Sven Cederroth (1995: 170, 194-200) menemukan bahwa akar dari ‘kebiasaan buruk’ berjudi ini dekat ke persoalan ‘siasat-siasat untuk bertahan hidup’ (strategies for survival) yang menunjukkan betapa beratnya persaingan memasuki saluran-saluran sempit penghidupan ‘halal’ yang disesaki para pencari nafkah pedesaan.
Daftar Pustaka
Cederroth, Sven (1995) Survival and Profit in Rural Java: The Case of an Javanese Village. Nordic Institute of Asian Studies     Monograph Series, No. 63. Richmond, Surey: Curzon Press.
Erwiza, Erman (2002) Hidden Histories: Gender, Family and Community in the Ombilin Coalmines (1892-1965). Amsterdam: IIAS/IISG, CLARA Working Paper, No. 13,.
Heringa, Henz (1997) Dewi Sri in Village Garb: Fertility, Myth, and Ritual in Northeast Java, Asian Folklore Studies, 56: 355-377.
Koentjaraningrat (1984) Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Tjan Tjoe Siem (1988) Permainan Kartu Jawa, dalam A. Ikram (ed.) Bunga Rampai Bahasa, Sastra, dan Budaya. Jakarta: Intermasa, hlm. 131-143.

1. Peneliti AKATIGA Pusat Analisis Sosial dan Staf Pengajar pada Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran.
2. Peneliti pada AKATIGA Pusat Analisis Sosial.
3. Dalam kosmologi Jawa, molimo atau ‘lima m’ yang mencakup maling (pencurian), madon (pelacuran), mainmadat (percanduan), dan minum (mabuk-mabukan) merupakan saluran-saluran penghidupan tidak wajar yang berada di dalam alam petheng (dunia gelap).
4. Mengenai sejarah permainan kartu di Jawa lihat Tjan Tjoe Siem (1988).